Alhamdulillah, Liga Primer Indonesia mulai bergulir Sabtu (8/1) ini di Solo dan mempertemukan tuan rumah Solo FC melawan Persema Malang. Liga yang diikuti 19 klub ini akan menjadi kompetisi alternatif yang bertujuan menyuguhkan pertandingan sportif, bermutu, bebas pengaturan skor, aman, dan tidak rusuh.
Liga Primer Indonesia (LPI) sudah disiapkan selama berbulan-bulan melalui studi kelayakan yang mendalam, baik dari segi komersial maupun manajemen penyelenggaraannya. Tak banyak penggiat sepak bola yang berani memulai pekerjaan besar penuh tantangan yang melibatkan ruang, waktu, tenaga, dan dana berskala raksasa ini.
Insya Allah kelak terbukti satu musim kompetisi LPI bisa memutar dana empat kali lebih besar sampai sekitar Rp 2 triliun. Potensi penonton sepak bola di negeri ini bisa melebihi kompetisi di Eropa, seperti Liga Inggris atau Liga Italia.
Dukungan terhadap LPI terbukti pula lewat keterlibatan sponsor dan stasiun televisi asing, Star Sports, dan lokal, Indosiar. Hampir 100 persen media massa nasional ataupun lokal tertarik memberitakan hal ihwal mengenai LPI.
Pemerintah, sejak Kongres Malang tahun lalu, juga memberikan dukungan terhadap reformasi PSSI melalui keberadaan LPI. Begitu pula berbagai kalangan aktivis sepak bola nasional dan daerah siap ambil bagian, antara lain terwujud lewat pembentukan 19 klub LPI.
Jauh lebih penting lagi adalah dukungan masyarakat, khususnya penggemar sepak bola. Animo penggemar belakangan ini meningkat, antara lain tampak dari kehadiran puluhan ribu penonton sejak Piala Asia 2007 sampai AFF baru-baru ini.
Tak ada resep rahasia untuk membentuk timnas yang andal kecuali kompetisi, kompetisi, dan kompetisi. Namun, kompetisi yang bagaimana, itulah pertanyaan pokoknya.
Kompetisi yang bersih, itulah yang ingin dicoba LPI. Sebab, kompetisi selama beberapa tahun belakangan ini keburu kotor.
Aneh jika kompetisi yang kotor tetap dipertahankan, sementara yang mau bersih malah dicurigai. Itulah keganjilan yang kita saksikan beberapa hari terakhir ini.
Anda, saya, siapa pun boleh menyelenggarakan kompetisi karena itu adalah hak setiap warga negara. Larangan memutar kompetisi sungguh aturan yang keliru.
Tak ada ketentuan melarang setiap pemain, termasuk dua pemain Persema, Irfan Bachdim dan Kim Jeffrey Kurniawan, bergabung dengan timnas.
Setiap pemain yang memenuhi persyaratan berhak diseleksi untuk memperkuat timnas dari kompetisi mana pun dia berasal, baik dari liga profesional, amatir, maupun mahasiswa.
Terlebih lagi lambang Garuda dan bendera Merah Putih yang terpampang di kostum pemain menyimbolkan, timnas mewakili bangsa dan negara, bukan PSSI semata-mata. Secara moral, timnas milik masyarakat, PSSI hanya organisasi yang mengelola.
Acungan jempol layak ditujukan kepada Arifin Panigoro, penggiat yang telah lama berkecimpung dalam kompetisi Liga Medco yang bertujuan mencari bakat-bakat remaja kita. Keliru besar jika mengait-ngaitkan aktivitas Arifin Panigoro dengan ambisi politik murahan memanfaatkan sepak bola hanya untuk ajang pencitraan atau bisnis belaka.
Kegalauan Arifin Panigoro, yang prihatin dengan karut-marut persepakbolaan nasional, tidak jauh berbeda dengan kegalauan kita semua. Ia berupaya membuktikan, jika dikelola secara profesional, sepak bola kita tidak jauh ketinggalan dari negara-negara Asia Tenggara.
Justru karena prestasi yang amat terpuruk itulah muncul gagasan memutar kompetisi LPI. Selama kepemimpinan Ketua Umum PSSI Nurdin Halid, yang berlangsung sejak 2003, tak satu pun gelar juara tingkat regional berhasil direbut timnas.
Satu-satunya gelar juara diperoleh melalui sebuah turnamen yang sifatnya hanya undangan kepada timnas-timnas asing berlaga di Piala Kemerdekaan 2008. Gelar juara kita kontroversial karena direbut melalui cara-cara kurang sportif. Di babak pertama final, kita ketinggalan dari Libya 0-1. Saat jeda, salah seorang ofisial kita memukul Pelatih Libya. Mereka walkout tak melanjutkan pertandingan dan, simsalabim, kita menjadi juara tanpa menyelesaikan babak kedua partai final.
Fakta obyektif bahwa Nurdin Halid gagal mempersembahkan gelar juara sudah mencukupi untuk menjatuhkan vonis bahwa ia kurang layak lagi memimpin PSSI. Nurdin bukan Kardono yang meloloskan timnas ke juara subgrup penyisihan Piala Dunia 1986 dan semifinal Asian Games 1986, juga bukan Azwar Anas yang membawa timnas juara SEA Games 1991.
Sudah jadi rahasia umum kompetisi selama delapan tahun terakhir kurang bermutu, kurang sportif, dan kurang aman. Keputusan PSSI menghukum klub, wasit, atau pemain kurang konsisten karena sering diralat sendiri demi kepentingan kurang jelas.
Akibatnya, prestasi timnas terpuruk karena kita sudah dikalahkan negara-negara mini, seperti Laos atau Timor Timur. Sampai kapan kita harus hidup dengan prestasi timnas yang memprihatinkan ini?
LPI merupakan momentum dan era baru sepak bola nasional kita yang mesti dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk meningkatkan prestasi timnas. Tentu tidak mudah dan juga tak ada jalan pintas atau instan dalam sepak bola, kecuali kompetisi.
Jangan menghalangi niat tulus dan cita-cita luhur kita, pencinta sepak bola, untuk meraih prestasi setinggi-tingginya. Kita sudah melangkah dengan kaki kanan dan mari ucapkan ”Selamat datang LPI”!
Oleh Budiarto Shambazy