AFP/KARIM JAAFAR
Carlo Ancelotti
MILAN, - Kebersamaan Carlo Ancelotti dan AC Milan telah menghasilkan kisah-kisah manis bagi keduanya. Kini, di tengah isu kepindahan Ancelotti ke Chelsea, pelatih tersebut membeberkan berbagai cerita tentang kesuksesannya bersama "I Rossoneri".
Melalui buku otobiografinya, Preferisco La Coppa, Carletto dan penulis Alessandro Alciato mengungkapkan bagaimana mantan pemain Milan itu membangun kariernya hingga meraih dua gelar Liga Champions dan masing-masing satu gelar di Serie A dan Coppa Italia. Salah satunya berkat formasi "Pohon Cemara", yang awalnya sempat ia ragukan bakal berhasil.
+ Bagaimana awal mula Anda di Milan?
- Saya menggantikan Fatih Terim pada November 2001. Itu bukan musim yang baik. Kami main buruk di akhir liga dan sejumlah pemain cedera.
Usai kekalahan 2-0 di kandang Bologna, saya benar-benar marah. Itu jarang terjadi pada diri saya, tapi saya juga manusia. Saya merusak ruang ganti: saya menggebrak meja, menendang pintu, membanting botol dan berteriak sekuatnya. Saya caci-maki setiap orang, dan saya lakukan secara individual dan personal. Tujuannya, saya ingin mengingatkan mereka, menunjukkan di mana letak rasa sakit.
Saya tidak tahu apakah saya mengucapkan kata-kata kasar, tapi duel itu menjadi titik balik. Kami berhasil kembali ke zona Liga Champions. Saya mendapatkan ganjarannya karena Anda tidak dapat memperlakukan setiap pemain dengan cara yang sama.
+ Tahun berikutnya Anda meraih gelar Liga Champions. Apa rahasianya?
- Musim penuh pertama saya di Milan, 2002-03, berkaitan dengan formasi "Pohon Cemara". Itu terjadi karena ada peluang. Jendela transfer mendatangkan dua pemain: Clarence Seedorf dan Rivaldo. Tugas saya mencari cara agar keduanya bisa bermain bersama sementara sudah ada Andrea Pirlo dan Rui Costa. Empat pemain ini harus bermain, sesuai filosofi klub - hiburan dan sepak bola indah harus ada.
Pirlo benar-benar membantu saya. Suatu hari ia mendekati saya dan mengatakan bahwa dia bisa bermain lebih dalam, persis di depan empat pemain belakang. Saya sangat meragukannya. Dia seorang gelandang serang, ia cenderung berlari dengan bola. Dan sebelumnya, itu bekerja baik. Dia menjadi pemain terbaik dunia dengan peran seperti itu. Saya menempatkan Seedorf ke sayap, dengan Rui Costa dan Rivaldo berada di belakang satu striker. Simsalabim, itulah 4-3-2-1 atau "Pohon Natal".
Kami main cantik tahun itu. Kami menuju final (Liga Champions), di Old Trafford, lawan Juventus. Seperti biasa, saya menyiapkan materi sebelum laga dalam catatan tulisan tangan. Saya kuno untuk urusan itu. Jangan membuat surat cinta dengan komputer.
Kami seharusnya bisa menang cepat, meskipun akhirnya harus lewat penalti. Jujur saja, saat penalti, datanglah masalah. Semua muncul tiba-tiba, mencari orang yang tepat (sebagai eksekutor) menjadi sangat sulit. Inzaghi, misalnya, tidak bisa. Untungnya, Andriy Shevchenko mengubahnya menjadi kemenangan dan itulah yang terjadi.
+ Mengapa kekalahan lawan Liverpool pada 2005 bisa terjadi?
- Final saya selanjutnya, tentu saja, di Istanbul. Di babak pertama kami unggul 3-0 dan beberapa pemain yang tidak bermain sudah mengenakan kaus kemenangan di balik pakaiannya. Saya mengingatkan mereka bahwa Liverpool akan melawan hingga akhir. Namun, yang terjadi selanjutnya sungguh luar biasa. Enam menit kegelapan total untuk Milan, 3.060 menit yang mengubah laga 360 derajat. Mereka mencetak gol tiga kali. Itu tidak mungkin. Itu luar biasa
Saya berkali-kali bertanya, apa yang terlintas di kepala saya ketika mereka menyamakan skor. Nyatanya kepala saya kosong. Itu terjadi dengan cepat, itu hampir tidak mungkin. Kami segera bangkit, tapi sudah telanjur hancur. Meski menciptakan banyak peluang, akhirnya terjadi adu penalti. Anda tahu setelahnya.
Saya tidak pernah melihatnya lagi. Saya tak perlu melihatnya. Sangat sulit untuk menerimanya (dan saya menerimanya: hari ini, itu sebuah kekalahan, seperti kekalahan lain yang saya alami dalam karier saya).
Tim membangun kembali kekuatan psikologis untuk mencapai yang terbaik pada musim 2005-06. Kami lebih kuat tahun berikutnya (2006/07, Red), ketika saya menjadi penggemar dua tim: Milan dan Liverpool, karena saya sangat berharap kami bertemu lagi di final.
Tahun itu, kami bertemu Manchester United di semifinal, sementara Liverpool menghadapi Chelsea. Kami kalah di Old Trafford, 3-2, dan saya tidak sopan terhadap Sir Alex (Ferguson). Saya tidak datang dalam acara rutin minum anggur dengannya usai pertandingan. Saya sangat kecewa. Saya tahu harus membalasnya, jadi di laga kedua, saya memberinya sebotol Tignanello (anggur lezat senilai 60 euro). Saya tinggalkan anggur seharga 300 euro untuk pelatih Inter saat itu.
Kami kalahkan United 3-0 dan, hingga kini, saya bisa katakan dua alasan kami akan menang (di turnamen itu). Pertama karena kenangan di Istanbul. Kedua karena malam sebelumnya kami melihat Liverpool mengalahkan Chelsea dari tempat latihan kami di Milan, yang didandani seperti miniatur "The Kop". Kami memasang bendera, syal, spanduk. Kami pantang menyerah lawan "The Reds" malam itu. Itu sebabnya kami ingin bertemu mereka di final.
Kami tahu bakal mengalahkan Liverpool. Itu membuat kami percaya diri. Akhirnya, kami menang, 2-1. Saya tak banyak ingat soal laga itu tapi saya menggelar pesta sesudahnya dan kami menghabiskan minuman di bar hotel.
+ Bagaimana persaingan dengan Fabio Capello untuk melatih Real Madrid pada 2006?
- Pada April 2006, saya menerima tawaran dari Real Madrid dan Florentino Perez yang sedang mencalonkan diri pada pemilihan presiden. Mereka bilang saya adalah "Yang Terbaik" (mereka tak bisa menyebutku “The Special One” karena seseorang sudah punya hak cipta atas ungkapn itu). Saya menerima, saya siap untuk tantangan baru.
Seperti yang terjadi, Milan tidak melepas saya, mereka memberi tawaran baru kepada saya. Itu sebabnya Real memilih Fabio Capello. Saya harus ketawa karena dia ingin tahu siapa di antara kami yang didekati lebih dulu. Itu sebuah kebanggaan dan, hingga kini, itu menjadi guyonan di antara saya dan teman-teman.
Melalui buku otobiografinya, Preferisco La Coppa, Carletto dan penulis Alessandro Alciato mengungkapkan bagaimana mantan pemain Milan itu membangun kariernya hingga meraih dua gelar Liga Champions dan masing-masing satu gelar di Serie A dan Coppa Italia. Salah satunya berkat formasi "Pohon Cemara", yang awalnya sempat ia ragukan bakal berhasil.
+ Bagaimana awal mula Anda di Milan?
- Saya menggantikan Fatih Terim pada November 2001. Itu bukan musim yang baik. Kami main buruk di akhir liga dan sejumlah pemain cedera.
Usai kekalahan 2-0 di kandang Bologna, saya benar-benar marah. Itu jarang terjadi pada diri saya, tapi saya juga manusia. Saya merusak ruang ganti: saya menggebrak meja, menendang pintu, membanting botol dan berteriak sekuatnya. Saya caci-maki setiap orang, dan saya lakukan secara individual dan personal. Tujuannya, saya ingin mengingatkan mereka, menunjukkan di mana letak rasa sakit.
Saya tidak tahu apakah saya mengucapkan kata-kata kasar, tapi duel itu menjadi titik balik. Kami berhasil kembali ke zona Liga Champions. Saya mendapatkan ganjarannya karena Anda tidak dapat memperlakukan setiap pemain dengan cara yang sama.
+ Tahun berikutnya Anda meraih gelar Liga Champions. Apa rahasianya?
- Musim penuh pertama saya di Milan, 2002-03, berkaitan dengan formasi "Pohon Cemara". Itu terjadi karena ada peluang. Jendela transfer mendatangkan dua pemain: Clarence Seedorf dan Rivaldo. Tugas saya mencari cara agar keduanya bisa bermain bersama sementara sudah ada Andrea Pirlo dan Rui Costa. Empat pemain ini harus bermain, sesuai filosofi klub - hiburan dan sepak bola indah harus ada.
Pirlo benar-benar membantu saya. Suatu hari ia mendekati saya dan mengatakan bahwa dia bisa bermain lebih dalam, persis di depan empat pemain belakang. Saya sangat meragukannya. Dia seorang gelandang serang, ia cenderung berlari dengan bola. Dan sebelumnya, itu bekerja baik. Dia menjadi pemain terbaik dunia dengan peran seperti itu. Saya menempatkan Seedorf ke sayap, dengan Rui Costa dan Rivaldo berada di belakang satu striker. Simsalabim, itulah 4-3-2-1 atau "Pohon Natal".
Kami main cantik tahun itu. Kami menuju final (Liga Champions), di Old Trafford, lawan Juventus. Seperti biasa, saya menyiapkan materi sebelum laga dalam catatan tulisan tangan. Saya kuno untuk urusan itu. Jangan membuat surat cinta dengan komputer.
Kami seharusnya bisa menang cepat, meskipun akhirnya harus lewat penalti. Jujur saja, saat penalti, datanglah masalah. Semua muncul tiba-tiba, mencari orang yang tepat (sebagai eksekutor) menjadi sangat sulit. Inzaghi, misalnya, tidak bisa. Untungnya, Andriy Shevchenko mengubahnya menjadi kemenangan dan itulah yang terjadi.
+ Mengapa kekalahan lawan Liverpool pada 2005 bisa terjadi?
- Final saya selanjutnya, tentu saja, di Istanbul. Di babak pertama kami unggul 3-0 dan beberapa pemain yang tidak bermain sudah mengenakan kaus kemenangan di balik pakaiannya. Saya mengingatkan mereka bahwa Liverpool akan melawan hingga akhir. Namun, yang terjadi selanjutnya sungguh luar biasa. Enam menit kegelapan total untuk Milan, 3.060 menit yang mengubah laga 360 derajat. Mereka mencetak gol tiga kali. Itu tidak mungkin. Itu luar biasa
Saya berkali-kali bertanya, apa yang terlintas di kepala saya ketika mereka menyamakan skor. Nyatanya kepala saya kosong. Itu terjadi dengan cepat, itu hampir tidak mungkin. Kami segera bangkit, tapi sudah telanjur hancur. Meski menciptakan banyak peluang, akhirnya terjadi adu penalti. Anda tahu setelahnya.
Saya tidak pernah melihatnya lagi. Saya tak perlu melihatnya. Sangat sulit untuk menerimanya (dan saya menerimanya: hari ini, itu sebuah kekalahan, seperti kekalahan lain yang saya alami dalam karier saya).
Tim membangun kembali kekuatan psikologis untuk mencapai yang terbaik pada musim 2005-06. Kami lebih kuat tahun berikutnya (2006/07, Red), ketika saya menjadi penggemar dua tim: Milan dan Liverpool, karena saya sangat berharap kami bertemu lagi di final.
Tahun itu, kami bertemu Manchester United di semifinal, sementara Liverpool menghadapi Chelsea. Kami kalah di Old Trafford, 3-2, dan saya tidak sopan terhadap Sir Alex (Ferguson). Saya tidak datang dalam acara rutin minum anggur dengannya usai pertandingan. Saya sangat kecewa. Saya tahu harus membalasnya, jadi di laga kedua, saya memberinya sebotol Tignanello (anggur lezat senilai 60 euro). Saya tinggalkan anggur seharga 300 euro untuk pelatih Inter saat itu.
Kami kalahkan United 3-0 dan, hingga kini, saya bisa katakan dua alasan kami akan menang (di turnamen itu). Pertama karena kenangan di Istanbul. Kedua karena malam sebelumnya kami melihat Liverpool mengalahkan Chelsea dari tempat latihan kami di Milan, yang didandani seperti miniatur "The Kop". Kami memasang bendera, syal, spanduk. Kami pantang menyerah lawan "The Reds" malam itu. Itu sebabnya kami ingin bertemu mereka di final.
Kami tahu bakal mengalahkan Liverpool. Itu membuat kami percaya diri. Akhirnya, kami menang, 2-1. Saya tak banyak ingat soal laga itu tapi saya menggelar pesta sesudahnya dan kami menghabiskan minuman di bar hotel.
+ Bagaimana persaingan dengan Fabio Capello untuk melatih Real Madrid pada 2006?
- Pada April 2006, saya menerima tawaran dari Real Madrid dan Florentino Perez yang sedang mencalonkan diri pada pemilihan presiden. Mereka bilang saya adalah "Yang Terbaik" (mereka tak bisa menyebutku “The Special One” karena seseorang sudah punya hak cipta atas ungkapn itu). Saya menerima, saya siap untuk tantangan baru.
Seperti yang terjadi, Milan tidak melepas saya, mereka memberi tawaran baru kepada saya. Itu sebabnya Real memilih Fabio Capello. Saya harus ketawa karena dia ingin tahu siapa di antara kami yang didekati lebih dulu. Itu sebuah kebanggaan dan, hingga kini, itu menjadi guyonan di antara saya dan teman-teman.
No Response to "Kisah Pohon Cemara Milik Ancelotti"
Leave A Reply
Apakah Anda Setuju Dengan Berita Di Atas? , Silahkan Beri Kami Komentar.